Rabu, 07 September 2011

Julissa, Saya orang Amerika dan saya juga manusia

| Rabu, 07 September 2011 | 0 komentar


Julissa Fikri
Julissa Fikri tumbuh dan besar di East Harlem. Salah satu permukiman terbesar yang didominasi warga keturunan Amerika Latin di New York, Amerika Serikat. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya, keputusanya memeluk Islam akan memicu kebencian keluarga dan lingkungannya.

“Begitu saya mulai mengenakan jilbab, saya selalu menjadi perhatian orang-orang di sekeliling,”

Fikri lahir di tengah keluarga keturunan hispanik yang mayoritas beragama Katolik. Ia memutuskan masuk Islam semenjak tujuh tahun silam.
“Mereka melihat saya berjilbab. Mereka berpikir saya dipaksa suami dan itu keliru,'' katanya. ''Memang tidak buruk, saya tidak merasa tertindas. Saya sangat nyaman. Saya hanya ingin orang tahu bahwa saya orang yang sama.''

Fikri, keturunan Puerto Rico dan Dominika, tengah menjalani dakwah di kalangan terdekatnya, termasuk ibunya sendiri. Ia gunakan situs jejaring video Youtube guna menyebarkan kisah keislamannya. “Islam merupakan hal yang asing bagi masyarakat hispanik,” ungkap Fikri.

Islam Identik Arab
Mereka, ungkapnya, mengasosiasikan Islam dengan budaya Arab. Padahal, Islam lahir bukan untuk kalangan tertentu. Islam lahir untuk semesta alam. ''Karena itu, saya ingin memperkenalkan Islam kepada masyarakat hispanik,” katanya.

Fikri mengatakan telah mengeksplorasi Islam semenjak 2004 silam setelah mengalami krisis identitas. Ia cari mencari agama yang sesuai dengan dirinya.

Hidayah pun datang. Ia berkenalan dengan Alquran terjemahan bahasa Spanyol. Selanjutnya, ia bertemu pria yang menuntunnya masuk ke dalam Islam. Pria asal Mesir itu lalu menjadi pasangan hidupnya.

Awal tahun ini, tepatnya Februari, Fikri mulai mengenakan jilbab. Pengalaman pertama Fikri mengenakan jilbab mendapat cobaan. Saat ia menjemput putrinya, ia berpapasan dengan pria latin. Oleh pria itu, ia disebut perempuan Arab. “Oh jadi, ia telah berubah ras,” kenang Fikri menirukan perkataan pria tersebut.

Dalam insiden lain, seorang perempuan di sebuah kios menatapnya dan menyebutnya teroris. “Saya merasa sakit. Sebelum anda menghakimi saya, ingat saya memakai syal yang sama dengan mereka. Di bawah kerudung, saya hanya orang yang sama. Saya orang Amerika..dan saya juga manusia."

Sumber: Republika

SelengkapnyaJulissa, Saya orang Amerika dan saya juga manusia

Senin, 29 Agustus 2011

Sigit Nugroho, Mantan Atheis, Merasakan Ketenangan Setelah Masuk Islam

| Senin, 29 Agustus 2011 | 0 komentar
Sigit Nugroho
Pria kelahiran Semarang, 6 Oktober 1965 ini adalah anak tunggal dari pasangan Letkol Pol Djati Koenjtono(Alm) dan Soeharsi. Selain sebagai seorang wartawan ia juga berfrofesi sebagai komentator olah raga disejumlah stasiun televisi swasta dan juga stasiun tv nasional.

Sigit mengaku sudah dua tahun memeluk Islam. Sebelum memilih Islam, ia sebelumnya telah melewati tiga fase agama dalam kehidupannya.

Pertama ia dulu seorang yang tidak beragama (atheis), kemudian ia masuk menjadi orang khatolik. Tak beberapa lama kemudian ia keluar dari agama tersebut dan kemudian menjadi seorang Muslim

Kini Sigit mengakui lebih giat untuk memperdalam ajaran agama islam dan tidak akan mempermainkan agama seperti sebelumnya. Ada pengalaman religi yang ia ungkapkan setelah dirinya memeluk agama Islam.

Ia mengaku dahulu sebelum dirinya menjadi seorang mualaf, ia merasakan ketidaktenangan dalam hidup. Tak hanya itu, ia merasa uang hasil kerjanya tak bisa dinikmati dengan baik karena membuat tubuh jadi panas.

Namun kini setelah ia masuk dan memeluk agama islam, ia merasakan ketenangan dalam hidup dan uang hasil kerjanya dapat dinikmati tanpa ada keganjilan.

Setelah benar-benar mencoba menjadi seorang Muslim yang taat ibadah dan mempunyai pengetahuan agama, Sigit merasakan kedamaian dan ketenangan jiwa dalam menjalani kehidupan. "Islam menjadikann saya pribadi yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan," ujarnya.

Dahulu. tutur Sigit, ia selalu menyerah dalam menghadapi setiap masalah yang sedang dihadapinya. Ia juga mengaku tidak mempunyai seorang teman pun untuk membantunya mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya.

Kini setelah menjadi seorang Muslim ia mempunyai banyak teman dan selalu terbantu dalam memecahkan permasalah yang ada dalam kehidupannya. Diisinilah ia mengetahui arti islam yang sebenarnya.

Ramadhan selalu dimaknai Sigit sebagai bulan yang sangat istimewa, karena pada saat bulan suci ini, ia bisa lebih bersabar dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang. Kondisi itu menjadikan dirinya mempunyai ketegaran iman yang kuat dalam memaknai kehidupan yang baru sebagai seorang muslim.

Ramadhan kali ini ia juga mempunyai tugas yang cukup berat namun sekaligus pengalaman cukup berarti. Pasalnya ia menjadi ketua umum dalam acara kegiatan Talk Show Ramadhan 2011 yang diadakan bersama para mualaf yang ada di Jakarta.

Dalam penggalangan dana, ternyata ia mengalami kesulitan. “Untuk urusan agama ko masih banyak ya yang sulit sekali beramal dan menyisihkan sedikit hartanya di bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah ini” tuturnya.

Kini sebagai seorang Muslim, ia pun juga mempunyai keinginan mengajak para mualaf yang lain untuk lebih giat mempelajari ilmu agama islam dan mengetahui pengetahuan yang luas tentang ajaran islam.

Sigit pun memberikan sedikit saran kepada para mualaf lain yang datang di acara diskusi ini. "Sebagai eorang mualaf kita harus benar-benar pegang teguh agama ini, janganlah kalian main-mainkan ajaran Islam ini, dan para mualaf yang lain harus tetap semangat menghadapi cobaan yang begitu sulit, apalagi setelah kita mengucap ikrar keimanan," ujarnya.

Sumber: Republika.co.id
SelengkapnyaSigit Nugroho, Mantan Atheis, Merasakan Ketenangan Setelah Masuk Islam

Minggu, 28 Agustus 2011

Mu Kim Ni, Kagum Keharmonisan Ummat Islam

| Minggu, 28 Agustus 2011 | 0 komentar
Mu Kim Ni
Karena merindukan profil keluarga yang rukun dan damai, Mu Kim Ni, kabur dari rumahnya di Baturaja Sumatera Selatan, tahun 1991. Saat itu, ia baru tamat SMA. Ani, begitu perempuan kelahiran 17 Oktober 1972 ini akrab disapa, menemukan kedamaian dan keharmonisan justru di dalam keluarga sahabat–sahabatnya yang dijumpai di rumah mereka saat belajar bersama semasa SMA.


Ia melihat keluarga teman-temannya yang Muslim sangat harmonis menjalankan ajaran agama Islam dengan tekun. Alasan ini pula yang  mendorongnya memeluk Islam. Namanya kemudian berganti menjadi Murniati Mukhlisin.

"Saya ingin memperbaiki keadaan keluarga dan memberikan contoh kepada keluarga terutama adik–adik, tentang makna sebuah keluarga," kata ibu dari Layyina Humaira Tamanni (11), Hayyan Hani Tamanni (9) dan  Rayyan Ayman Tamanni (7)  ini.

Namun bukannya didengar, ia malah diejek dan dicemooh. Namun, Ani tak terlalu mengambil hati dan tetap melakukan pendekatan pada keluarga.

Melalui seorang wartawan, Ani mendapatkan rekomendasi orangtua asuh dari PITI (Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Ia diterima dengan hangat di keluarga Ustazah Qomariah Baladraf Teh Giok Sien di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Di Jakarta, Ani aktif mengikuti kegiatan kepemudaan Islam di Masjid Istiqlal dan di Yayasan H Karim Oei, di Jl Lautze. Secara ekonomi, ia juga mulai mandiri setelah diterima bekerja di sebuah bank swasta di Jalan Sudirman Jakarta. "Walau kadang sedih juga,  karena harus melepas jilbab setiba di kantor, karena bank yang banyak memperkerjakan staf non-Muslim tidak memberikan izin berjilbab," katanya.

Walau jauh dari kampung halamannya, ia tetap memperhatikan keluarganya, yang saat itu belum sepenuhnya menerima keislamannya.
Ani mengungkapkan, sejak kabur dari rumah, ia berusaha mengambil hati keluarganya. Berkirim kabar dan hadiah, salah satu upayanya.

Kerja keras wanita yang kini menjabat sebagai wakil ketua  Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia ini, membuahkan hasil. Mama dan beberapa adiknya luluh hatinya. Tak hanya merangkulnya kembali, belakangan mereka juga turut menganut Islam. Keinginannya terkabul: memiliki keluarga yang hangat dan saling mendukung.

Di sisi spiritual, Ani terus mengasah ilmu agamanya. Ia yang terpacu untuk terus mendalami Islam dengan melanjutkan kuliah di bidang akuntansi syariah setelah dua tahun bekerja di Jakarta. Ani berhasil melanjutkan kuliah di International Islamic University Malaysia dengan beasiswa dari sebuah perusahaan swasta di sana. Di sana pula Ani belajar Islam lebih insentif, termasuk belajar bahasa Arab.

Bekal keluwesannya dalam bergaul dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan Arab serta keaktifannya dalam organisasi, membuat Ani semakin mandiri. Bahkan, istri Luqyan Tamanni ini sudah mendapatkan pekerjaan bergengsi ketika belum selesai kuliah, di sebuah lembaga akuntan publik ternama di negeri jiran itu.

Kini, perempuan yang sangat meminati kajian standar akuntansi keuangan syariah internasional ini, segera berangkat ke Inggris untuk melanjutkan kuliah strata tiga. ''Insya Allah dalam waktu dekat saya berangkat," katanya. Di Gloucestershire University, ia bakal menimba ilmu ekonomi syariah.

Sumber: Republika.co.id
SelengkapnyaMu Kim Ni, Kagum Keharmonisan Ummat Islam

Yahya Schroeder, Menemukan Hidayah Saat Sekarat

| | 0 komentar
Aku tak peduli lagi dengan cederaku. Aku bahagia karena Allah masih mengizinkanku untuk terus hidup.

Bila Allah SWT berkehendak dan memberikan hidayah pada seseorang maka tak ada yang sanggup menghalanginya. Dan, rencana Allah pasti akan terlaksana. Allah berfirman, ''Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.'' (Al-Insyirah [94]:6).

Ayat ini sangat tepat disematkan pada Yahya Schroeder, pemuda asal Jerman. Kecelakaan yang menimpanya saat akan berenang, membuatnya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

''Suatu hari, ketika aku ikut dengan kawan-kawan pergi berenang. Saat akan melompat ke kolam, aku terpeleset dan jatuh tidak sempurna. Akibatnya, kepalaku terbentur pinggir kolam dan punggungku retak parah. Ayahku segera membawaku ke rumah sakit,'' terang Yahya Shcroeder, sebagaimana dikutip islamreading.com.

Selama di rumah sakit, dokter menyarankannya untuk tidak banyak bergerak. Sebab, cedera punggungnya cukup parah dan engkel tangan kanan bergeser. ''Nak, jangan banyak bergerak, ya. Sedikit saja salah bergerak, bisa menyebabkan cacat,'' kata dokter. Kalimat ini membuatnya makin tertekan.

Ia kemudian dibawa ke ruang operasi. Melihat kondisinya yang kritis, salah seorang temannya, Ahmir, berkata padanya, ''Yahya, hidupmu kini ada di tangan Allah. Ini mirip seperti perjudian, antara hidup dan mati. Kini, kamu berada di puncak kenikmatan dari sebuah pencarian. Bertahanlah, sabarlah sahabat. Allah pasti akan menolongmu.'' Kalimat Ahmir memotivasi Yahya untuk bangkit lagi dengan semangat hidup yang baru.

Operasi punggung dan luka-luka lainnya berjalan selama lima jam lebih. Yahya baru siuman hingga tiga hari kemudian. Saat terjaga, ia kesulitan menggerakkan tangannya. ''Entah mengapa, saat itu aku merasa seperti orang yang sangat bahagia di muka bumi, kendati sedang dibalut luka. Aku tak peduli lagi dengan cederaku. Aku bahagia karena Allah masih mengizinkanku untuk terus hidup.''

Bahkan, ketika dokter memintanya untuk istirahat dulu di rumah sakit selama beberapa bulan, ia menolaknya. Semangat hidupnya mampu mengalahkan rasa sakit yang dideritanya. Tak lebih dari dua minggu, Yahya sudah boleh pulang, lantaran kerja keras yang penuh disiplin dan latihan rutin yang ia lakukan.

Ketika dokter datang dan mengajaknya untuk latihan naik tangga, ternyata sang dokter dibuat kaget ketika ia mampu melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

''Kecelakaan itu telah mengubah jalan hidupku. Aku jadi suka merenung. Jika Allah menginginkan sesuatu, kehidupan seorang bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Aku pun mulai serius berpikir tentang hidup ini dan Islam tentunya. Keinginan untuk memeluk Islam makin menjadi-jadi.
Dan, bila itu aku lakukan, risikonya aku harus meninggalkan rumah dan keluarga yang aku cintai, serta semua kemewahan hidup yang selama ini aku jalani. Namun, tekadku sudah bulat. Aku segera pindah ke Postdam dan tinggal bersama ayahku,'' terangnya.

Kedua orang tuanya telah berpisah, dan Yahya ketika itu ikut dengan ibu dan ayah tirinya. Namun, sejak peristiwa itu, ia memutuskan untuk tinggal bersama ayahnya.

Kala pindah ke Potsdam, Yahya cuma membawa beberapa lembar pakaian, buku sekolah, dan beberapa CD kesayangannya. Ia tinggal sementara di apartemen ayahnya. ''Tempatnya sangat kecil hingga terpaksa aku harus tidur di dapur. Tapi, aku bahagia, persis seperti saat siuman dari rumah sakit akibat kecelakaan itu,'' paparnya.

Padahal sebelumnya, saat masih bersama ibunya, Yahya hidup mewah dan enak. Pakaian bagus, rumah luas, mobil, makan enak, dan berbagai kesenangan duniawi lainnya. Ia juga suka pesta minum alkohol bersama teman-temannya hingga mabuk.

''Entahlah, dengan semua itu, aku merasa hidup tidak tenang, selalu gelisah. Kala itu pun aku berpikir untuk mencari 'sesuatu' yang lain,'' ujarnya.

Memeluk Islam
Dan, melalui ayah kandungnya yang sudah menjadi Muslim pada tahun 2001, Yahya menunjukkan ketertarikannya untuk mempelajari Islam. Ia pun suka bergaul dengan komunitas Muslim Postdam. Ayahnya secara diam-diam memperhatikan tingkah laku Yahya. Ia menginginkan, anaknya ini mempelajari Islam secara sungguh-sungguh dan bukan ikut-ikutan. Setelah dirasa cukup mantap, Yahya akhirnya memeluk agama Islam, saat usianya menginjak 17 tahun, tepatnya pada November 2006 silam.

Begitu teman-teman sekolahnya tahu, ia memeluk Islam, sumpah serapah, caci maki, dan penghinaan ia terima dari teman-temannya yang dahulu bersamanya. Namun demikian, Yahya tak khawatir. Ia merasa sudah mantap dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhamamd Saw ini.

''Saat teman-temanku tahu aku telah memeluk Islam, mereka menganggap aku gila, bodoh, dan main-main. Mereka menganggap, Islam itu agama teroris, Arabisasi, suka berbuat kekerasan, mendiskriminasikan perempuan, dan lain sebagainya. Namun, aku tak membalasnya. Saya tahu, mereka melakukan itu karena mereka tidak mengenal Islam dengan baik. Mereka hanya tahu dari media massa yang turut serta menyudutkan Islam,'' terangnya.

Setelah 10 bulan berjalan sejak keislamannya, teman-temannya akhirnya berubah sikap. Mereka yang tadinya usil, mulai menunjukkan simpati bahkan bertanya tentang Islam padanya. ''Aku pun melakukan dakwah di kelas pada teman-temanku tentang Islam. Mereka akhirnya menyadari, Islam punya aturan dan moral yang sangat baik dan teratur. Tidak berjudi, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya,'' ungkapnya.

Sikap simpati juga ditunjukkan pihak sekolah. Yahya diberikan sebuah ruangan khusus untuk melaksanakan shalat. ''Padahal, siswa Muslim cuma aku satu-satunya,'' kata dia.

Sikapnya yang lebih santun, sopan, dan hormat, membuat teman-temannya makin suka bergaul dengan Yahya. Ia memosisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang baik dan tidak memihak kelompok manapun di sekolahnya.

Sikapnya ini membuat ia bisa bergaul dan diterima di semua kelompok.
''Kalau di antara mereka punya acara, mereka akan mengundangku. Mereka juga menyediakan makanan halal yang diperuntukkan bagiku. Mereka benar-benar terbuka dengan Islam.''

Kini, setelah memeluk Islam, kesibukan Yahya Schroeder makin bertambah. Ia menjadi produser film, YaYa Productions di Postdam. Produksinya terutama film-film dokumenter yang mengisahkan perjalanan hidup seorang mualaf, dan kebanyakan dalam bahasa Jerman dengan terjemahan bahasa Inggris.

''Tujuanku membuat film adalah untuk menunjukkan kepada kalangan non-Muslim bagaimana Islam yang sebenarnya. Jauh dari apa yang ditampilkan media selama ini. Mudah-mudahan film-film itu bisa mencerahkan pandangan mereka,'' ujar Yahya.
SelengkapnyaYahya Schroeder, Menemukan Hidayah Saat Sekarat

Jumat, 26 Agustus 2011

Prof. James Frankel, Islam Membuat Saya Jauh Lebih Baik

| Jumat, 26 Agustus 2011 | 0 komentar

James Frankel
Setelah ucapan teman yang membuatnya sangat shock, James Frankel mengontak sahabatnya itu dan memintanya mengirimkan beberapa literatur mengenai pengenalan Islam dan kehidupan seorang Muslim.

Mansour mengirimkan beberapa buku dan satu buku yang memiliki pengantar yang sangat bagus, baik tentang kepercayaan dalam Islam dan Rukun Islam. Dari buku tersebut James belajar tentang shalat, bagaimana mengucapkan syahadat, dan bagaimana berwudhu.

Kemudian James belajar shalat. James merasa dirinya menjadi Muslim kloset karena ia harus kucing-kucingan dengan keluarganya ketika melaksanakan shalat. Bahkan melaksanakan puasa di bulan Ramadhan pun ia lakukan sendiri. Ia melihat pergerakan matahari untuk menentukan waktu imsak dan berbuka. “Saya mencari tahu kapan matahari terbit dan tenggelam,” ujarnya dalam onislam.net.

Begitulah kehidupannya selama 6-8 bulan pertama sebagai seorang Muslim. Petunjuknya hanyalah Alquran dan buku yang diberi temannya. Selama itu ia mempelajari segalanya tentang Islam sendiri. James belum memberitahu keluarganya mengenai keputusannya memeluk Islam. Namun pada suatu malam ia berkata pada keluarganya ia membaca Alquran. Dan keluarganya berkata padanya, “Ya kami dapat melihat kau membawanya kemana-mana,”

Reaksi ibu James mendengar anaknya menjadi seorang Muslim sangatlah keras. Ia menangis dan bertanya pada ayah James. Ia terus berucap bagaimana hal ini bisa terjadi pada keluarganya. Namun ayahnya lebih tenang menanggapi hal tersebut dan mungkin ia berpikir, “Anakku adalah seorang komunis ketika ia berumur 13 dan ia seorang skinhead ketika ia berumur 16 tahun. Ia telah melewati banyak fase dan mungkin ini adalah fase lain,”

Tentu saja hal ini merupakan fase penting dalam diri James. Dan ini bukanlah fase yang akan ia lewati begitu saja. Tahun pertama merupakan tahun yang sulit bagi James karena sulitnya berkomunikasi dengan orangtuanya mengenai hal itu. Akan tetapi perlahan-lahan orangtuanya mulai mengertia dan menerima hal tersebut.

Islam telah membuat James menjadi orang yang lebih baik. Awalnya sang ibu takut James akan menjadi seorang monster ketika menganut Islam. Namun Islam tentunya telah membuatnya menjadi seseorang yang berbeda. “Setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda,” kata dia.

Dan hal ini pun telah mempengaruhi karirnya. Ia tidak akan pernah tahu apakah ia akan menjadi seorang profesor seperti saat ini apabila ia tidak menjadi seorang Muslim. Perjalanannya menemukan Tuhan sudah terbilang sekitar dua puluh tahun. “Dan hanya Allah yang tahu kapan perjalanan ini akan berakhir,”

Sumber: Republika.co.id

SelengkapnyaProf. James Frankel, Islam Membuat Saya Jauh Lebih Baik
 
© Copyright 2010. www.iqro.tk . All rights reserved | www.iqro.tk is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com